Langsung ke konten utama

Bertaut Bagian 3

 

Aku membaca ulang salinan agenda kegiatan Hakim Cipto dan mencocokannya dengan waktu dimana ia melaksanakan aksi bejatnya. Nama mbak kemarin adalah Dena, ia merupakan asisten pribadi merangkap sekretaris Hakim Cipto, benar dugaanku, ternyata Dena merupakan salah satu korban dari Hakim Cipto semanjak 5 tahun yang lalu. Karena tuntutan ekonomi, Dena tidak bisa keluar begitu saja dari pekerjaannya yang sekarang dan harus menanggung malu serta trauma yang besar. Ia hanya bisa menangis setiap malam, agar ibu dan adik yang ia nafkahi tak khawatir, ia menangis sambil menceritakan kisahnya. Sungguh, aku mengutuk perbuatan tak manusiawi Hakim Cipto. Aku tak pernah menyangka ada orang sebaik dia. Dena kemudian bergabung dalam rencana kami, ia memberikan salinan agenda Hakim Cipto selama beberapa tahun terakhir, uang yang ia gunakan untuk menyuap para polisi, uang yang digunakan sebagai uang tutup mulut para korban, kami beruntung karena meskipun ia menggunakan nama lain, tapi tujuan uang tersebut mengalir sangatlah jelas.

Dua hari setelah itu, Hadi menjemputku yang lucunya disambut baik oleh orang tuaku. Hadi mengajakku ke teras kosannya, ia membawa amplop coklat besar dan menyerahkannya padaku. Aku membuka amplop itu dan terkejut saat melihat isinya, isi dari amplop tersebut adalah identitas dari orang-orang yang tercantum di berkas yang Dena berikan, baik orang-orang yang disuap atau orang-orang yang menjadi korban.

“Saya minta bantuan kakak saya, meski harus kena omelan lama tapi saya rasa hasilnya sepadan.” Katanya tersenyum bangga.

Kemudian, aku dan Hadi mencari alamat para korban. Sebagian dari mereka masih ada di Bandung, namun sebagian lagi sudah tidak ada. Beberapa dari mereka menerima ramah aku dan Hadi, namun sebagian memilih untuk tidak membuka mulutnya. Hadi akan menangis di belakangku, menghabiskan tisu yang selalu aku bawa, sedangkan aku akan fokus mendengarkan cerita mereka dan mencatat hal yang aku kira penting. Tuhan dan semesta seolah mendukung langkahku, aku beruntung karena sebagian dari korban ternyata memiliki saksi yang siap bersaksi untuk melawan Hakim Cipto. Sebagian dari mereka bercerita memiliki trauma yang mendalam, bukan hanya fisiknya yang terluka, namun juga mentalnya, sebagian yang lain mengatakan mereka beruntung karena ada keluarga atau teman atau orang-orang terdekatnya yang membantu mereka untuk pulih, sedangkan sisanya kurang beruntung karena harus menerima cacian atau label dari orang di sekitar mereka. Hatiku sungguh sangat tersayat, namun aku memilih menyimpan air mataku. Sudah aku katakan, aku masih memiliki rasa kasihan, namun aku rasa mereka lebih membutuhkan aksi nyata dibandingkan air mata. Jadi aku menguatkan diriku sendiri, memantapkan setiap langkah yang aku ambil, dan ketika aku ragu aku akan melihat foto Laras, mengingat wajah para korban, serta melihat ke belakang, ada Hadi yang akan tersenyum lebar sambil mengatakan, “Jangan berhenti Sekar, saya bakal dukung sepenuh hati.”

 

Aku melihat ke luar jendela, hujan besar. Aku berkali-kali melihat ke arah jam dinding di ruang keluarga. Hadi mengatakan ia akan menjemputku sekitar jam 3 sore untuk bertemu dengan teman-temannya dai media pemberitaan. Namun, aku rasa semesta belum memberikan izin, karena sejak tadi siang hujan terus turun dan berhenti sebentar seolah sedang bercanda denganku yang diburu oleh waktu. Entah mengapa aku teringat tangisan Ibu Laras dimalam aku pulang untuk melayat Laras, aku rasa semesta sedang sedih karena kehilangan sesuatu yang manusia tak pernah tahu apa.

Lamunanku buyar saat telepon berbunyi.

Aku berjalan malas dan mengangkat telepon itu karena Ibu dan Ayah sedang berkunjung ke rumah Laras.

“Halo?” sapaku.

“Sekar.” Panggil seseorang di ujung sana.

“Hadi?” tanyaku.

“Iya, saya sengaja hafalin nomor telepon rumah kamu karena kamu belum pernah kasih nomor kamu.” Katanya sambil tertawa.

Aku ikut tertawa karena apa yang dikatakannya benar, “Hujan ini, apa perlu diundur?”

“Janganlah,” cegah Hadi, “Sebenarnya Sekar, saya ada di depan komplek rumah kamu dan saya rasa saya bisa liat kamu dari jendela kalau kamu singkap gorden jendelanya.”

Aku menyingkap gorden jendelaku tanpa menutup telepon dari Hadi, disana Hadi, melambai dengan tangan kanannya sambil memegang telepon di tangan kirinya, aku bersyukur ada halte di depan komplek rumahku dan kotak telepon umum yang masih layak.

“Kenapa tidak langsung ke rumah?” tanyaku.

“Karena Ibu dan Ayah kamu tidak ada di rumah, jika di teras pasti kamu kena hujan.” Katanya sambil terus melihat ke arahku dar dalam kotak telepon.

Hampir seminggu aku bertemu dengan Hadi, menghabiskan waktu bersamanya, membicarakan banyak hal, aku rasa, ia adalah laki-laki baik yang bisa dipercaya, meski tidak sepenuhnya karena aku masih trauma. Laras, aku harus bagaimana ini? aku bisa saja membuat ribuan surat atau puisi tentang cinta atas perintahmu, namun sepertinya aku masih kikuk jika harus berhadapan langsung dengannya.

“Sekar.” Panggilnya.

“Kenapa?” aku melihat ke arahnya dari dalam rumah melalui jendela, seakan-akan kami sedang berbicara berhadap-hadapan.

“Saya ingin ke toilet sebenarnya dan haus.”

Aku tertawa dan ia ikut tertawa di ujung sana. Aku tidak tahu berapa banyak koin yang ia keluarkan agar tetap terhubung dengan telepon rumahku sampai hujan reda.

“Permisi.” Katanya sambil memarkirkan motornya di depan halaman rumahku.

“Saya tunggu disini, kamu tau kan kamar mandi ada dimana?” tanyaku pada Hadi yang tidak mungkin melupakan letak kamar mandi di rumahku.

“Iya.” Katanya langsung berlari ke dalam rumah.

Setelah beberpaa menit ia keluar dengan wajah lega dan mengajakku untuk langsung pergi ke kosannya, ia mengatakan sudah meminta izin pada orang-orang kepercayaannya dan untuk menyambutku lagi Bu Nenden, Bu Ita, dan Bu Nia akan membuat gorengan istimewa yang tidak ada duanya. Aku tertawa di atas motor mendengar ceritanya, seingataku gorengan Ibu Laras adalah gorengan yang tidak ada duanya.

***

“Kemarin saya membeli minuman baru dan sedikit makanan.” Katanya tiba-tiba muncul dari dalam kosan, ia membawa beberapa botol minuman dan makanan ringan.

“Padahal Ibu buat ini untuk kamu.” Aku menyodorkan tas kain merah berisi kotak makanan berisi  nasi, ayam goreng, ikan bakar, sambal, beserta lalapan, dan jangan lupakan puding buatan ibuku yang ia akui sebagai hidangan penutup kesukaannya.

Matanya berbinar dan menerima tas itu, “Serius Kar?”

Aku mengangguk.

“Bilang terima kasih untuk Ibu, aku akan lebih sering mampir.” Katanya semangat, aku hanya tertawa kecil membayangkan ia akan jadi pemandangan biasa di rumahku.

“Jadi, dimana teman-teman kamu?” tanyaku ketika melihat belum ada siapa-siapa disana.

“Belum datang sepertinya, mereka masih harus bekerja.” Jawabnya sambil menyandarkan punggungnya di sandaran bangku bambu.

“Jika rencana ini tidak berhasil, bagaimana?” tanyanya.

Aku melihat ke arahnya dan ikut menyandarkan punggungnya yang pegal karena perjalanan tadi, “Tidak apa, masih banyak cara yang aku bisa cari.”

Hadi mengangguk-ngangguk, “kalau masih gagal?”

“Saya coba lagi.” Jawabku.

“Masih gagal juga?”

“Coba lagi.”

“Hebat.” Puji Hadi.

Aku tertawa kecil mendengar pujiannya.

“Kalo gitu saya mau dukung kamu, lagi, lagi, dan lagi sampai berhasil.” Katanya tanpa melihat ke arahku, matanya melihat ke depan, ke arah halaman yang rimbun oleh pohon.

“Kalau baru berhasil 100 tahun kemudian?” tanyaku.

“Ya, saya temani kamu sampai 100 tahun.” Katanya malu-malu, ia menghindari tatapan mataku, dan aku menahan tawa saat ia sendiri yang mengatakan hal itu namun ia sendiri yang malu.

“Kalau saya tagih janji itu, kamu siap?” tanyaku menggodanya.

“Siap lah.” Jawabnya sewot.

Aku hanya tertawa kecil, ada perasaan senang dan berbunga-bunga yang sulit dijelaskan, namun aku harus menahan perasaan apapun ino namanya untuk berhenti berkembang sementara, karena ada tugas lain yang menunggu.

Aku menghirup udara perlahan, mencium wangi hujan yang khas dan segar dari pepohonan. Awan-awan mendung masih enggan berpindah dari langit sore, meski matahari telah memberi tanda-tanda kehadirannya lewat lembayung senja yang indah di langit.

“Hadi.” Sapa seorang dari arah gerbang kosan.

Aku melihat ke asal suara itu berasal, seorang perempuan berjalan ke arah kami berdua, disusul dengan lelaki tinggi besar di belakangnya.

“Dwi.” katanya memperkenalkan diri.

“Sekar.” jawabku.

“Jati.” diikuti dengan lelaki bertubuh tinggi besar di belakangnya.

“Sekar.”

Dwi merupakan seorang gadis bertubuh kecil mungil dan berkulit putih bersih dengan lesung pipit di kedua pipinya, ia datang dengan rambut panjang yang diikat tinggi dan kemeja yang berpasangan dengan celana formal berwarna hitam. Jati, sesuai namanya memiliki tubuh yang tinggi, besar, dan yakin kokoh, kulitnya gelap namun dengan wajah khas Arab. Mereka berdua merupakan teman dekat Hadi yang bekerja di salah satu media pemberitaan terbesar di Bandung, Hadi percaya mereka berdua akan membantu kami karena mereka telah mengetahui kebusukan Hakim Cipto jauh sebelum kami berdua mengetahuinya.

“Jadi kamu yang menyusun rencana ini?” tanya Jati.

Aku mengangguk.

“Jenius sekali.” Pujinya.

“Aku rasa buktinya sudah lebih dari cukup, saksinya pun sudah cukup.” Dwi mengecek bukti-bukti yang aku dan Hadi telah kumpulkan.

“Tapi kita tahu bagaimana liciknya Hakim Cipto, ia bisa dengan mudahnya menyuap para aparat.” Jati melihat ke arahku, Dwi juga melihat ke arahku.

“Itu mengapa saya membutuhkan orang-orang dari media pemberitaan seperti kalian, saya sudah mengetahui kebusukan dari Hakim Cipto, tapi, dengan adanya orang-orang seperti kalian kita bisa menuntut para aparat untuk menjalankan proses hukum dengan transparan. Di hari rencana ini dijalankan, saya butuh kalian untuk memberitakan hal yang sebenarnya terjadi, saya yakin masih ada banyak orang yang akan membuka matanya tentang kebenaran yang terjadi. Ketika ada hal yang mencurigakan dan kalian memberitakan hal tersebut, akan ada banyak orang yang menuntut kebenaran dan tidak akan membiarkan kasus ini berlangsung tanpa mereka ketahui.” Aku menjelaskan rencanaku kepada Jati dan Dwi.

Mereka berdua berpandangan dan saling mengangguk-ngangguk.

“Saya tahu ini sangat beresiko, tapi saya tidak mau ada Laras, Arum, atau korban lainnya. Seorang perempuan terlalu berharga untuk dihancurkan hidupnya oleh orang seperti beliau.” kataku menambahkan, “jadi saya meminta bantuan kalian dan beberapa rekan kalian.”

“Kamu butuh berapa orang Sekar?” tanya Jati.

“Sebanyaknya?” aku balik bertanya.

“Saya wujudkan.” Katanya tersenyum.

Aku ikut tersenyum mendengar tanggapan dari Jati. Setelah itu Ibu Nenden meminta kami semua bergabung untuk memakan gorengan yang katanya istimewa.

Laras, maaf. Tunggu sebentar lagi, aku berjanji setelah ini kamu akan tenang.

***

“Sekar, kemari nak!” panggil Ibuku dari arah ruang keluarga.

Aku yang sedang membaca kembali bukti-bukti yang telah aku kumpulkan di kamar lantas berjalan keluar kamar menuju suara ibuku berasal. Ayah dan Ibuku duduk di kursi sambil melihat ke arahku yang berdiri.

“Ayah dengar kamu merencanakan sesuatu dari Ibu Laras.” Ayahku membuka percakapan.

Aku melihat ke arah Ibuku yang memasang wajah khawatir.

Aku mengangguk perlahan.

“Kenapa Sekar?” tanya ayahku dengan nada tinggi, “Laras sudah pergi! Tidak usah kamu ganggu dia lagi!”

Aku tau pembicaraan ini akan berlangsung alot, aku akan memilih diam dan menuruti setiap perkataan Ayah atau Ibuku.

“Apa Ayah tahu penyebab Laras bunuh diri apa dan siapa?” tanyaku.

“Ayah tahu! Maka dari itu Ayah melarang kamu!”

“Apa perasaan Ayah saat tahu apa dan siapa yang menjadi penyebab bunuh diri Laras?” tanyaku setenang mungkin.

“Ayah sakit hati Sekar! Bagi Ayah, Laras sudah menjadi anak kedua Ayah, rasanya sama seperti kehilangan putri Ayah.” Jawab Ayahku dengan nada yang lebih lunak dari sebelumnya.

“Ayah tahu? Korbannya bukan hanya Laras. Banyak perempuan diluar sana yang menjadi korban dari Hakim Cipto dan ketika Sekar memilih diam bahkan ketika mengetahui apa penyebab dan siapa penyebabnya apa Skear harus diam? Apa sekar harus diam dan membiarkan korban lain berjatuhan? Apa sekar harus diam melihat teman-teman Sekar dan para perempuan di luar sana menjadi korban dari Hakim Cipto? Apa Sekar harus diam ketika tahu akan ada banyak orang tua diluar sana yang hancur hatinya melihat kehidupan putrinya hancur?” tanyaku bertubi-tubi.

Ayah melihat ke arahku terkejut, mungkin terkejut karena anak perempuan satu-satunya kini telah berani menjawab pertanyaannya. Ibu hanya menangis melihat perdebatan diantara putrinya dan Ayahnya.

“Sekar, kamu sudah tumbuh, kamu anak Ayah satu-satunya. Ayah tahu langkah yang kamu tempuh sudah benar, tapi Ayah takut Sekar, bagaimana jika terjadi sesuatu pada putri Ayah satu-satunya?”

Ini kali pertama aku melihat Ayahku, sosok pelindung, dan sosok terkuat di hidupku rapuh seperti ini. Ia menunduk dan menahan tangisnya.

“Ayah, Sekar takut, sangat takut, tapi Sekar lebih takut lagi melihat tidak ada perubahan dan keadilan untuk perempuan dan rakyat kecil seperti kita.” aku berlutut di depan Ayahku dan memegang kedua tangannya yang sudah keriput, “doa dan restu dari Ayah dan Ibu, Laras, Hadi, dan teman-teman yang lain yang menjadi pendukung Sekar, maka dari itu Sekar meminta doa restu dari Ayah dan Ibu.”

Ayahku melihat ke arah putri satu-satunya. Ia memeluk erat diriku sambil mendoakan keselamatanku dengan berurai air mata. Ibukunjuga melakuakn hal yang sama, memeluk diriku dan terus mendoakanku. Mengelus rambutku dengan penuh kasih sayang dan terus mendoakan diriku.

Laras, lihatlah, masih banyak orang baik yang peduli akan dirimu. Aku merasa lebih kuat Laras, aku merasa semesta seolah merestuiku, aku juga mendapat restu dari Ibu dan Ayah. Kini aku meminta doa darimu. Doakan aku sahabatku, meski aku tau kamu akan tertawa sambil berkata, “Seorang Sekar akan berhasil bahkan tanpa doa dariku.” Tapi Laras, aku sungguh membutuhkan doamu dari atas sana. Jadi, doakanlah aku.

***

Rencanaku sebenarnya sangat sederhana. Beberapa hari lagi Hakim Cipto akan melakukan sebuah seminar di salah satu perguruan tinggi negeri yang ada di Bandung, aku beruntung karena seminar itu adalah seminar yang terbuka untuk umum sehingga aku, paar korban, dan para saksi dapat mengikuti seminar itu dengan mudah. Di akhir seminar, tentu saja akan ada sesi tanya jawab, aku akan menjadi seorang penanya yang ternyata akan membeberkan bukti tentang kejahatan Hakim Cipto yang kemudian didukung oleh para korban dan saksi. Jati dan Dwi serta kawan di media pemberitaan tentu saja disambut dengan baik oleh pihak Hakim Cipto karena beranggapan mereka akan menciptakan sebuah berita tentang hebatnya Hakim Cipto. Sedangkan Dena akan bergerak di belakang layar, seperti menghentikan pihak Hakim Cipto dan pihak kampus yang menyelenggarakan acara ini saat berusaha menghentikan aku dan para korban yang bersaksi.

            “Saya rasa, dengan adanya kawan-kawan dari media pemberitaan, pengadilan ini tidak akan bisa dihentikan begitu saja.” Ucap Dena sambil membaca ulang rencanaku.

“Bagaimana dengan panitia yang lain? Saya yakin mereka akan mencoba untuk menghentikan saya.” tanyaku.

“Aku bisa urus itu Sekar, yang kamu harus lakukan adalah membela kebenaran.” Jawab Dena.

“Caranya?” tanyaku semakin penasaran.

“Jangan khawatir.” Dena menggenggam tanganku dan tersenyum.

Aku mengangguk.

Laras, doakan aku.

Langkahku berat, sangat-sangat berat, sebelum pergi ke persidangan tak hentinya orang tuaku mengingatkan untuk tetap tenang dan jika terdapat pertanda semua tidak sesuai rencana, maka hentikan saja. Hadi berkali-kali memberikan dukungan moral jika aku terlihat ragu ataupun khawatir.

“Saya ingat, waktu saya ke Jakarta dan lihat kamu untuk pertama kalinya.” Ucap Hadi sambil melihat ke arah halaman di depannya.

“Kenapa?” tanyaku.

“Awalnya saya lihat kamu di pintu aula, seram.” Katanya tertawa kecil.

Aku melihat kesal ke arahnya.

Ia tertawa semakin besar, “Kamu itu mukanya sangat dingin Sekar, judes kata orang Sunda mah. Waktu itu saya berpikir, seram sekali perempuan ini, mana ada yang mau berteman dengannya jika ia selalu memasang muka seperti itu. Tapi kutuklah saya karena berani menghakimi seseorang dari penampilannya, setelah itu saya jadi sering memperhatikan kamu saat seminar.”

“Kamu yang lebih seram.” Kataku.

Ia tertawa lagi, “Tapi kemudian saya sadar, kamu dikelilingi oleh banyak orang dan terlihat sangat berbeda ketika tersenyum atau tertawa dengan mereka. Kemudian, saya pikir saya jatuh ke lubang sedalam 1000 meter ketika melihat kamu berbicara di depan umum, bahkan hanya untuk bertanya perihal hal yang saya tidak mengerti apa.”

Aku tertawa kecil, “Masih baik kamu bisa keluar dari lubang itu.”

“Tidak Sekar, saya belum bisa keluar, dan saya kira saya tidak akan bisa keluar ketika saya mengenal kamu lebih jauh.” Katanya sambil tersenyum melihat ke arahku.

Aku merasakan wajahku panas dan aku yakin memerah, aku tidak mengatakan apa-apa lagi setelah itu dan melanjutkan kegiatanku memakan gorengan buatan Ibu Nia. Ketika mengingat hal itu, rasanya aku terbawa kembali ke teras kosan Hadi dengan bau petrichor yang kuat dan suara daun yang saling bergesekan karena angin, dan suara Hadi kini menjadi musik pengiringnya.

“Sekar.” Panggil Hadi perlahan.

Aku menoleh ke arahnya yang duduk di sampingku, kami, aku dan Hadi, beserta para Korban dan saksi sudah berada di aula perguruan tinggi negeri tempat Hakim Cipto melaksanakan seminar. Aku sempat melihat Jati dan Dwi, mungkin bersama kawan-kawan lainnya yang aku taksir berjumlah sekitar 9-12 orang bersiap dengan kamera dan buku catatannya di pinggir panggung dan aula, Jati sempat mengacungkan ibu jarinya ketika melihatku. Dena juga beberapa kali melihat ke arahku dan tersenyum. Ternyata peserta seminar ini sangatlah banyak, bahkan sebelum acara dimulai banyak bangku yang telah terisi. Aku sengaja duduk berdekatan dengan para korban dan saksi agar memudahkan aku ketika memberikan isyarat kepada mereka untuk berbicara.

“Sekar.” Panggil Hadi lagi.

“Iya Hadi.” Jawabku.

“Apa kamu gugup?” tanyanya.

Aku mengangguk perlahan.

“Tidak apa, gugup lah sekarang.”  Katanya bercanda.

Aku tertawa kecil. Otakku rasanya kalut, bagaimana jika rencana ini tidak berjalan sesuai dengan yang aku harapkan? Bagaimana jika bukannya keadilan yang kami dapatkan namun malah kemalangan?

“Dulu, saat saya masih sering berlomba ditemani Ibu saya, beliau selalu mengatakan, Hadi jika kamu gugup, tidak apa, itu wajar, tapi jangan biarkan gugup itu menghancurkan mental, semua yang terjadi hanya sekali, jadi kamu harus memberikan yang terbaik saat kamu melakukan sesuatu, sambil memegang tangan saya.” Katanya sedikit berbisik.

Aku melihat ke arahnya, “boleh saya pegang tangan kamu?”

Mata Hadi terbelalak, ia mengangguk perlahan.

Aku meraih tangannya. Aku baru sadar tangan Hadi sangatlah besar dan hangat, tangannya sungguh sangat berkeringat dan aku yakin Hadi lebih gugup dariku entah karena rencana kami atau perbuatanku yang tidak pernah ia duga.

Pembawa acara muncul di tengah panggung, membuka acara dan memuji-muji narasumber utama kita, siapa lagi jika bukan Hakim Cipto?

Aku menggenggam erat tangan Hadi ketika Hakim Cipto datang dengan kemeja berwarna biru tua dan jas maroon yang senada dengan celananya. Ia menyisir ke belakang rambutnya yang penuh uban kebelakang dan aku yakin ia menggunakan gel rambut banyak-banyak hingga mengkilap saat terkena lampu sorot yang ada di atas panggung. Ia mulai berbicara dengan santai dan penuh wibawa tentang hukum yang berlaku di Indonesia tanpa sadar berapa banyak perempuan yang gemetaran ketika melihat ia di atas panggung sana. Arum melihat lurus ke arah panggung, ia seolah menyadari pandanganku dan melihat ke arahku sambil tersenyum.

“Sekar, ternyata di tempat yang dipenuhi orang kaya dan berpendidikan, ada saja orang yang melupakan rasa kemanusiaan,” katanya sambil tersenyum, “tidak apa Sekar, kamu tidak perlu emosi.”

Aku mengangguk dan tersenyum kecut, rasanya hatiku teriris mendengar perkataan Arum. Arum benar, Hakim Cipto tentu adalah orang yang berpendidikan tinggi dan memiliki harta berlimpah, namun aku tak yakin ia memiliki rasa kemanusiaan yang masih tersisa.

Semua orang bertepuk tangan ketika Hakim Cipto selesai berbicara. Pembawa acara kemudian mempersilahkan beberapa orang untuk bertanya, pertanyaan yang akan aku tanyakan sudah lengkap di otakku, namun mengapa suaraku tidak mau keluar dan otakku rasanya mulai berkabut. Rasa panik mulai menyerang diriku, aku mulai kembali sesak ketika mengingat aku akan berhadapan langsung dengan orang yang secara tidak langsung membunuh Laras. Aku mendengar suara seorang laki-laki bertanya yang diterima antusias oleh pembawa acara, suara Hakim Cipto seolah menggema di telingaku ketika ia menjawab pertanyaan itu. Otakku tiba-tiba membayangkan apa yang Laras rasakan ketika Hakim Cipto memperkosanya, otakku juga membayangkan apa yang korban lain rasakan ketika melihat Hakim Cipto perenggut kehormatan mereka secara paksa berdiri di panggung dengan leluasa.

“Sekar, kamu itu sangat istimewa, beberapa kali aku iri kepadamu, kamu bisa menyulap apapun menjadi diksi yang indah dan menyihir setiap orang yang membaca, dan ketika kamu berbicara, aku yakin bukan aku saja yang merasakan seperti waktu berhenti mendadak dan semua perhatian tertuju padamu. Sekar, jadikan kelebihanmu sebagai senjatamu. Jangan berhenti.” Perkataan Laras seolah terlintas di otakku begitu saja.

Aku rasa kesadaranku mulai kembali. Aku merasakan tanganku digenggam lebih erat oleh seseorang di sampingku. Hadi melihat ke arahku dan tersenyum.

“Ayo Sekar.”

Aku melihat ke arah Hadi.

Aku melepaskan genggaman tangan Hadi perlahan sambil tersenyum. Kemudian aku mengangkat tanganku tinggi-tinggi memastikan pembawa acara dapat melihat tanganku.

Seseorang memberikan mikrofon berkabel yang masih bisa dijangkau olehku, aku berdiri dan seketika ula menjadi sepi.

“Nama saya Sekar Ananda Luhur, saya seorang mahasiswa dengan jurusan sastra Indonesia di Universitas X di Jakarta. Izinkan saya bertanya mengenai hukum yang berlaku di Indonesia,” aku mengambil nafas perlahan dan menghembuskannya, “saya selalu bertanya di dalam hati saya, apakah terdapat perbedaan hukum terhadap seorang perempuan dan rakyat kecil di Indonesia? Apalagi jika hal tersebut mencakup tentang masalah kekerasan seksual yang seringkali terjadi namun tidak pernah ditangani. Sekian dan terimakasih.”

Aku bisa melihat raut wajah Hakim Cipto yang sedikit berubah, ia kemudian tersenyum dan menjawab dengan penuh wibawa, “Ya, em, terimakasih kepada Sekar. Tentu tidak, setiap orang berhak mendapatkan keadilan yang sama di mata hukum, kami para hakim, para jaksa akan memberikan hukuman yang setimpal dengan perbuatan yang seseorang lakukan ketika mereka melanggar hukum, apalagi jika mencakup kekerasan seksual.”

“Bagaimana apabila hakim yang seharusnya mengadili perkara tersebut yang ternyata melakukan kekerasan seksual kepada seorang perempuan, oh, atau bahkan lebih?” tanyaku melanjutkan.

Aku mulai mendengar suara kegaduhan di aula.

“Siapa yang akan mengadili hakim tersebut pak? Ataukah hakim, si pewujud keadilan kebal dari hukum?” tanyaku.

“Tentu tidak, nak Sekar. Baik Hakim, baik jaksa, atau orang-orang hukum lainnya pasti akan diberi hukuman yang setimpal ketika berbuat kejahatan.” Jawabnya.

“Apakah bapak dapat memberikan sebuah contoh kasus dari pelaporan kekerasan seksual yang berhasil ditangani atau diadili?” tanyaku lagi seolah tak puas dengan jawaban Hakim Cipto.

Hakim Cipto mulai gelagapan. Ia berkali-kali melihat ke arah pembawa acara atau penyelenggara acara yang ada di sekitarnya, namun anehnya mereka seolah menajdi patuh secara mendadak, terimakasih Dena. Orang-orang di aula semakin ribut.

“Saya ingin memberikan contoh kasus pak, seorang perempuan diperkosa oleh seorang hakim pada tanggal 22 September 1995 dengan waktu sekitar tengah malam. Atau mungkin seorang wanita yang baru saja berumur 18 tahun diperkosa oleh seorang hakim hingga diusir dari rumahnya dan kemudian melahirkan anak dari hakim tersebut, perempuan tersebut melapor kepada oknum polisi yang ternyata mendapatkan aliran dana dari  hakim tersebut, akhirnya wanita tersebut diberikan uang dan tempat tinggal yang jauh dari kata layak untuk biaya tutup mulut. Selain melakukan tindakan kekerasan seksual ternyata hakim tersebut juga melakukan tindakan suap. Apa hukuman yang harus didapatkan dari hakim tersebut?” aku terus menerus berbicara tanpa sekalipun berhenti melihat Hakim Cipto yang wajahnya telah berubah pucat pasi.

“Namanya Laras Purbawati, gadis yang baru saja genap berumur 21 tahun beberapa bulan yang lalu diperkosa pada 22 September 1995 ketika baru berjalan pulang ke rumahnya diperkosa oleh seorang hakim kebanggan kita semua.” Suara di aula semakin bertambah, terdengar beberapa orang terkejut seolah tak percaya. Rentetan flash berkedip terus menerus ke arah Hakim Cipto yang terkejut setengah mati. Aku menyerahkan mikrofon di genggamanku pada Arum yang telah berdiri di sampingku.

“Nama saya Arum Sri Inggit, saya merupakan korban dari Hakim Cipto yang diperkosa saat saya berumur 18 tahun pada 13 Maret 1994 sekitar jam 1 malam dan kini saya memiliki anak bernama Nadine yang tidak lain dan tidak bukan adalah anak Hakim Cipto.” Arum berkata dengan suara yang sedikit gemetar, aku memegang tangan kecil Arum dan tersenyum bangga. Wajah Hakim Cipto berubah pucat seperti melihat hantu. Orang-orang di aula semakin ribut dan suara kamera beserta flash kini mulai beralih pada Arum dan diriku yang masih berdiri. Mikrofon terus bergulir hingga korban terakhir yang hadir di aula tersebut, seperti kata Dena, tidak ada yang menghentikan kesaksian kami.

Aula menjadi sangat-sangat ribut.

Banyak dari mereka terkejut bukan main seolah tidak percaya tokoh penting kota ini adalah seorang laki-laki yang kehilangan rasa kemanusiannya.

Pembawa acara yang ada di samping Hakim Cipto mulai menjauh seolah takut dan jijik kepadanya.

“Saya masih punya bukti dan saksi lain jika kalian semua belum percaya.” Aku mengambil mikrofon yang diserahkan.

“Beliau,” kataku menunjuk Hakim Cipto yang menatapku marah, seketika aula menjadi senyap “tidak pernah mengerti bagaimana rasanya hidup seorang perempuan dihancurkan begitu saja. Beliau, selalu berpikir bahwa uang bisa membeli segalanya dan pada akhirnya merasa menjadi seorang raja. Beliau, tidak akan pernah mengerti penderitaan kita sebagai rakyat kecil yang tidak pernah dilindungi oleh mereka yang seharusnya melindungi. Saya bukanlah seorang hakim yang dapat memutuskan hukuman seseorang dan saya yakin uangnya akan terus mengalir demi udara bebas yang ia ingin rasakan setelah melakukan perbuatan menjijikan yang tidak berperikemanusiaan. Saya tahu betul, saya tidak bisa menciptakan perubahan dan menuntut keadilan saat saya sendiri, maka dari itu, saya membutuhkan bantuan kalian semua.” Kataku sambil melihat ke arah semua orang yang ada di aula tersebut. Beberapa orang bertepuk tangan dan berteriak “setuju” berulang kali.

Aku melihat ke arah Hakim Cipto yang pucat pasi. Beberapa orang yang ada di sekitar panggung tempat Hakim Cipto berada langsung menyergapnya begitu saja. Anarkis. Namun rasanya apa yang ia rasakan tidak sebanding dengan apa yang korban rasakan.

Tak lama berselang, polisi berdatangan untuk membawa Hakim Cipto.

Aku tahu, beberapa dari mereka telah dialiri oleh uang Hakim Cipto. Namun kawan-kawan dari media pemberitaan langsung beraksi dan berjanji mengawal kasus ini hingga usai. Tentu saja aku, Hadi, para korban, para saksi, keluarga korban, belum lagi orang tuaku dan Ibu Laras dipanggil berulang kali untuk datang ke kantor polisi. Aku harus berterima kasih pada Hadi, berkat bukti yang didapatkan dari Kakaknya, polisi yang telah dialiri uang Hakim Cipto semakin sulit melawan.

Kasus ini juga merambat dengan adanya kasus suap para polisi di kotaku. Dan tentu perhatian kepadaku semakin banyak, namun sekali lagi aku harus berterima kasih kepada Hadi dan kakaknya yang menjamin keselamatan aku, para korban, keluarga korban, dan para saksi, belum lagi orang tua Hadi yang mengetahui putra bungsunya yang hobi bolos kuliah terlibat kasus besar langsung menyiapkan pengacara terbaik dengan harga tak masuk akal.

Rencanaku berjalan sesuai dengan rencana. Adanya campur tangan dari media pemberitaan membuat kasus Hakim Cipto diusut dan diselesaikan dengan transparan tanpa ditutup-tutupi, sedikit saja hal ganjal ditemukan maka masyarakat dan beberapa organisasi kemanusiaan akan langsung bertindak. Bahkan, proses peradilan Hakim Cipto dilaksanakan secara terbuka, setelah Hakim Cipto keluar dari ruang pengadilan masyarakat seolah siap menerkam Hakim Cipto. Para korban kini telah merasakan setidaknya kelegaan ketika manusia yang merenggut kebahagiaan mereka telah mendekam di penjara dengan waktu yang sangat lama. Kasus ini memang ditangani dengan waktu yang cukup lama, sehingga aku harus mengambil cuti dari kuliahku demi kepentingan kasus ini berjalan dan secara tiba-tiba orang-orang di kampus termasuk para dosen mengetahui namaku, aku bersyukur karena hal ini memudahkan aku untuk mengambil cuti.

Seusai Hakim Cipto divonis dengan hukuman yang aku kira masih belum setimpal. Para korban memeluk diriku dan mengucapkan terimakasih, sebagian dari mereka menangis bahagia seolah cerita kelamnya telah tutup usia. Arum menjadi orang terakhir mengucapkan terimakasih, katanya ia sengaja menunggu agar ia bisa mengucapkan terimakasih dengan benar, Arum membawa Nadine dan menitipkannya kepada Hadi yang asik menangis di sampingku saat memeluk diriku, Arum menangis di pelukanku sambil mengucapkan terimakasih tak henti-hentinya.

“Sekar, saya harus bagaimana ini? Rasanya ucapan terimakasih tidak akan cukup.” Katanya sambil terus menangis.

“Arum, hiduplah yang bahagia ya, tidak perlu memikirkan yang tidak-tidak Arum, sering-seringlah berkunjung padaku ya, aku akan selalu menanti kabarmu dan Nadine.” Kataku memeluk Arum.

“Sekar aku doakan kebahagiaanmu, kamu juga harus hidup dengan bahagia.”

Aku tersenyum mendengar perkataan Arum dan mengaminkan doanya.

“Hadi, terimakasih banyak, kamu adalah laki-laki pertama yang bisa saya percaya setelah kejadian itu.” Ucap Arum pada Hadi yang menangis sambil menggendong Nadine.

“Saya akan doakan kamu juga Hadi, jalani hidupmu dengan baik dan bahagia ya, jaga Sekar baik-baik.” Arum mengambil Nadine dari gendongan Hadi sedangkan Hadi hanya mengangguk-angguk.

***

“Mana Ibu dan Ayah?” tanya Hadi sambil duduk di sampingku.

Setelah proses pengadilan selesai, orang tuaku bersuka cita memeluk aku dan Hadi kemudian memasak besar-besaran untuk para korban beserta keluarganya dan para saksi. Disinilah aku, kelelahan setelah keliling Bandung dengan Hadi untuk mengantarkan masakan Ibuku.

“Di dapur bersama Ibu Laras.” Jawabku sambil mengipas diriku sendiri dengan kertas koran yang tergeletak di meja.

“Asik, sepertinya saya akan makan besar lagi.” Jawab Hadi.

Aku tertawa kecil, Hadi mengambil koran dari tanganku dan mulai mengipasi dirinya sekaligus diriku.

“Ibu, Ayah, dan Kakakmu masih jauh?” tanyaku karena keluarga Hadi berniat mengunjungi keluargaku hari ini, sebelumnya aku memang pernah bertemu dengan keluarga Hadi di tengah proses penanganan kasus Hakim Cipto dan berterima kasih atas bantuan yang telah mereka berikan.

“Mereka bilang akan berangkat sekitar jam 3, sepertinya sih sebentar lagi.” Jawab Hadi sambil melihat jam di pergelangan tangannya. Aku merasa ada yang berbeda dengan Hadi sore itu, ia menguncir rambut gondrongnya dengan rapi, aku juga yakin ia sempat merapikan brewok tipisnya karena terlihat lebih rapi, alih-alih menggunakan kemeja lusuhnya yang selalu digunakan sebagai luaran Hadi terlihat lebih rapi dengan kemeja hitam yang cocok dipadukan dengan celana jeans biru langitnya.

“Saya merasa kamu lebih rapi dari biasanya.” Kataku sambil memperhatikan dirinya.

Hadi tertawa kecil, “ternyata kamu sadar.”

“Jelaslah saya sadar.” Kataku sewot.

“Saya ingin mengajukan proposal lain Sekar.” Katanya serius.

“Proposal apa?” tanyaku sambil membenarkan posisi dudukku.

“Kemarin, sebelum rencana ini berhasil, saya mengatakan bahwa saya akan mendukung kamu bahkan hingga 100 tahun apabila rencana ini gagal.” Ia mengaitkan jari-jarinya satu sama lain seolah ia gugup, “Namun, rencana tersebut berhasil.”

Aku mengangguk-angguk.

“Tapi, saya masih ingin mendukung kamu dan menemani kamu Sekar, bahkan jika boleh lebih dari 100 tahun lamanya.” Hadi melihat ke arahku dengan tatapan mata sungguh-sungguh, “Saya memang bukan laki-laki yang hebat ataupun istimewa, tapi saya ingin punya setidaknya sedikit tempat dalam cerita kamu Sekar.”

Aku melihat ke arah Hadi, untuk pertama kalinya otakku dapat berfungsi dengan baik karena kini fokus otakku adalah laki-laki yang ada di hadanku, bukan bukti-bukti yang aku temukan, bukan kata-kata yang aku susun, atau bukan pikiran mengenai para korban.

“Jika kamu sebuah cerita, maka saya akan memilih untuk tidak pernah menyelesaikannya.” Jawabku sambil tersenyum.

Hadi mengerutkan keningnya dan menatapku khawatir.

“Jika kamu sebuah cerita, maka saya akan memilih untuk tidak pernah menyelesaikannya agar kamu dan saya tidak akan berakhir dan terus bersama bahkan lebih dari 100 tahun lamanya.” Sambungku sambil tertawa.

Hadi bernafas lega, “saya kira saya akan bersedih untuk selamanya.”

Aku tertawa kecil melihat ekspresinya.

Hadi memindahkan koran yang ada di tangan kanannya menuju ke tangan kirinya kemudian menggenggam tanganku.

“Aduh, saya malu.” Katanya sambil menutupi wajahnya dengan koran.

Aku tertawa melihat tingkahnya.

“Setelah ini, kamu akan apa Sekar?” tanya Hadi.

“Saya akan melanjutkan kuliah hingga lulus, begitupun kamu harus menyelesaikan kuliahmu, dan kemarin Dwi bertanya pada saya apakah saya berkenang bergabung dengan organisasi yang membela hak perempuan dan rakyat-rakyat kecil.” Jawabku.

“Saya akan lulus, serius.” Katanya sungguh-sungguh, “Lalu apa jawabanmu terhadap pertanyaan Dwi?”

“Saya terima, namun dengan syarat menunggu saya lulus dulu karena bagaimanapun pendidikan penting untuk saya, dan saya berniat membuka sekolah umum untuk anak-anak kurang beruntung yang tidak bisa merasakan atau melanjutkan bangku sekolah.”

“Saya akan bantu, dengan sungguh-sungguh.” Seru Hadi semangat.

Aku tersenyum melihat ke arahnya. Kemudian sadar, jika kemarin aku akan melihat ke belakang dan mendapati dirinya tersenyum sambil berkata, “Jangan berhenti Sekar, saya akan mendukung kamu.” Kini aku tinggal perlu melihat ke samping dan mendapati dirinya tersenyum dan mungkin akan bertanya, “Sekar, setelah ini apa yang akan kamu lakukan? Saya akan dukung sepenuh hati.”

“Saya selalu penasaran Sekar, mengapa kamu jarang menangis bahkan setelah mendengar kisah memilukan dari para korban?” tanya Hadi.

“Entahlah, sejak kecil saya memang jarang menangis. Saya selalu berpikir menangis tidak akan menyelesaikan masalah.” Jawabku.

Hadi mengangguk-angguk, “Namun, aku rasa menangis bisa meringankan masalah, kamu tahu manusia itu seperti balon dengan emosi sebagai isinya, agar tidak meledak dan stabil emosi itu harus dikeluarkan sedikit demi sedikit salah satu caranya adalah menangis.”

Aku mengangguk, “Benar, saya harap kamu tidak memiliki keinginan membuat saya menangis hanya karena penasaran.”

“Tidaklah!” jawab Hadi sewot.

Aku tertawa mendengar jawabannya. Setelah itu aku mendengar bunyi klakson mobil dari mobil berwarna hitam milik keluarga Hadi. Orang tuaku beserta Ibu Laras menyambut mereka dengan hangat. Orang tua Hadi beberapa kali memelukku seperti melihat anaknya sendiri yang sudah lama tidak mereka lihat, Kakak Hadi menyalami diriku dan memperkenalkan dirinya karena belum pernah bertemu denganku. Kami melanjutkan pembicaraan hangat kami di dalam rumah, memakan ayam goreng beserta sambal dan lalapan buatan Ibuku, belum lagi pepes ikan buatan Ibu Laras dan Ibuku yang melegenda. Sore itu sungguh sangat hangat, rasanya seperti pulang kembali ke rumah. Laras, apa kamu melihat kami semua dari sana? Percayalah Laras,m meskipun aku menemukan banyak orang baru untuk menjadi rumah, namun kamu tidak akan pernah tergantikan.

Keadilan akan selalu sulit ditegakkan selama hukum masih memandang derajat, uang, dan kekuasaan terutama keadilan untuk seorang perempuan. Percayalah, aku akan membuktikan pada mereka diluar sana yang berpikir perempuan adalah makhluk lemah nan tidak berdaya, tidak ada yang salah terlahir sebagai seorang perempuan. Jangan menunduk, dunia tak bisa melihat wajah cantikmu jika menunduk begitu, tegakkan tubuhmu dan mantapkan langkahmu, jalanmu adalah duniamu, gendermu bukan penghalang untuk maju, ini waktunya kita berseru.

***

Laras, apa kabar?

Aku yakin kamu baik-baik saja dan aku yakin kamu bisa melihatku dari sana, aku pun baik-baik saja. Aku baru berhasil menyelinap ke kamar setelah pengajian 2 tahun kepergianmu diadakan. Aku, sangat rindu Laras. Banyak hal yang ingin aku ceritakan padamu.

Setelah Hakim Cipto diadili dan mendekam di penjara, aku seolah memiliki panggung sendiri, sayangnya tak ada waktu untuk menikmati ketika tugas kuliah telah menanti. Aku sudah lulus kuliah sekarang Laras, aku juga sedang mempersiapkan novel pertamaku, kamu tau novel ini adalah novel yang terinspirasi darimu, seorang perempuan hebat dalam hidupku.

Kemarin, aku mendapatkan kehormatan untuk bergabung dengan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan? Hebat bukan? Indonesia kini semakin ramah terhadap perempuan aku rasa. Hadi tak hentinya memujiku dan merayakannya dengan mengajakku makan masakan buatannya secara perdana, aku akui bentuknya tidak jelas namun rasanya luar biasa. Kamu juga harus tau Laras, Hadi berhasil lulus kuliah meski memilih tetap fokus berkarir sebagai penyanyi, aku harus jujur, suaranya sangat indah Laras, aku harap kamu bisa mendengarnya dari sana.

Ibumu Laras, masih saja cantik seperti biasanya, aku bingung, jangan-jangan ia seorang vampire karena tidak bisa menua. Ibumu sekarang seperti sudah menemukan kembali semangat hidupnya, seperti misalnya ikut ke kosan Hadi untuk merumpi bersama ibu-ibu yang lain, namun Laras, aku rasa ibumu masih sering merindukanmu karena ia memutuskan untuk menjadi seorang perias para penari, ah aku jadi teringat janjimu untuk memperlihatkan tarian jaipong mu saat di Istana Kemerdekaan. Orang tuaku sehat jika kamu penasaran, Ayahku semakin sibuk mengajar mahasiswa-mahasiswanya, belum lagi mendadak terkenal di kampusnya ketika tahu beliau adalah ayahku, sedangkan Ibuku semakin sering menggeluti hobinya memasak untuk kemudian menyuruh aku dan Hadi membagikannya pada tetangga. Orang tua Hadi meski terlihat seram, namun nyatanya mereka sangtalah baik, terutama ketika Ayah Hadi dan Ayahku disatukan , mereka akan berbicara tanpa henti dengan semangat hingga aku takut tetangga akan berpikir keluarga kami bertengkar. Ibu Hadi juga sangat ramah, beliau selalu menceritakan betapa nakalnya Hadi saat kecil dan hobi anehnya mengumpulkan batu yang baru aku sadari masih ia tekuni hingga sekarang, rasanya orang tuaku makin bertambah banyak dan jangan lupakan kakak Hadi yang meski sangat seram namun sangat penyayang hingga Hadi bercerita kakaknya memelihara 4 kucing di rumahnya. Para korban dari Hakim Cipto masih sering menghubungiku hanya untuk menanyakan kabar atau bercerita, terutama Arum yang sesekali berkunjung sambil membawa Nadine, Nadine sungguh menggemaskan Laras, Arum juga kini berhasil membuka warung makan kecil yang tentu sudah aku dan Hadi jelajahi, rasanya sungguh luar biasa. Dwi dan Jati telah menikah, mereka sedang menunggu momen untuk menjadi orang tua, ah rasanya senang sekali. Dan Dena bercerita di telepon bahwa ia telah menemukan sesosok laki-laki baik yang tidak mempermasalahkan masa lalunya.

Laras. Doakan aku selalu ya, dunia memang belum adil terhadap perempuan apalagi rakyat kecil seperti kita, namun aku berjanji akan terus membela keadilan dan kebenaran walau jalan yang aku tempuh tentu tidak selalu mulus. Aku sendirian tidak bisa menciptakan perubahan, namun aku tidak sendiri, ada kamu, Hadi, orang tuaku, Ibumu, keluarga Hadi, dan banyak orang akan mendukungku. Aku pamit dulu Laras, aku akan bercerita lagi hal lainnya. Aku doakan kamu bisa beristirahat dengan tenang.

 

Sekar Ananda Luhur

 

           Tamat.

 

Komentar

  1. Penyampaian narasi yang cantik dan rapi. Alurnya mengalir dengan halus dan tidak terburu-buru. Terus berkarya ya!

    BalasHapus
  2. Dari awal sampai akhir bener bener keren !!!

    BalasHapus
  3. Alurnya rapi. Emosinya dapet. Memang luar biasa penulis cerita ini.

    BalasHapus
  4. Thumbs up πŸ‘πŸΌπŸ‘πŸΌ

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

PjBL dan Pendidikan, Media Pembelajaran Sejarah Berbasis TIK

 PjBL dan Pendidikan, Media Pembelajaran Sejarah Berbasis TIK Oleh: Haifa Bilqis          Pendidikan merupakan salah satu aspek kehidupan yang sangat penting dan erat kaitannya dengan kita semua. Pendidikan telah mengalami banyak perkembangan terutama di tengah era globalisasi, dimana hampir semua hal yang terjadi di penjuru dunia dapat tersebar secara cepat dalam bentuk Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK). Secara tidak sadar, kolaborasi antara pendidikan dan TIK telah banyak digunakan dan diman faatkan di dalam kehidupan sehari-hari sehingga menciptakan model pembelajaran baru. Dari perkembangan teknologi ini, SMA Negeri 2 Cimahi mengembangkan sebuah model pembelajaran yang melibatkan teknologi dan suatu proyek dalam proses pembelajaran atau dikenal dengan Project Based Learning (PjBL) dalam berbagi bidang, salah satunya adalah bidang pendidikan. Perkembangan TIK dan Pendidikan yang selaras menciptakan sebuah media pembelajaran baru yang dapat di...